Objek Wisata Budaya Badui
Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dijadikan obyek wisata adat budaya yang selama ini cukup banyak dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.
“Kita telah menetapkan Suku Baduy sebagai obyek wisata adat budaya, namun pengelolaannya diserahkan pada pengurus desa setempat,” kata Kepala Bidang Pariwiata Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Periwisata (Disporabudpar) Kabupaten Lebak Djadjat Supardja di Rangkasbitung, Sabtu.
Karena pengelolaannya diserahkan pada aparatur desa setempat, maka pihak Disporabudpar Lebak tidak memungut retribusi dari para pengunjung ke suku tersebut.
Wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu, sebagian ada yang melapor dulu ke Disporabudpar tapi kebanyakan langsung menuju ke tempat itu dengan menggunakan “guide” dari luar daerah bahkan langsung dari Jakarta.
“Kalau kita tidak masalah, bagi wisatawan yang akan berkunjung ke lokasi itu mau lapor dulu ataupun langsung silahkan saja, tapi yang penting ketika tiba ke lokasi harus koordinasi dengan aparatur atau tokoh adat setempat,” katanya.
Disporabudpar juga sering menerima izin penelitian di Suku Baduy dari para mahasiswa luar daerah terutama berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
Suku Baduy mendiami lokasi seluas 5.101 hektare di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, sekitar 38 km dari Rangkasbitung dengan masa tempuh sekitar 1,5 jam dari ibu kota Kabupaten Lebak itu.
Lebak (ANTARA News) - Pengunjung dari berbagai daerah memadati kawasan wisata Baduy di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, selama libur panjang akhir pekan ini.
"Saat ini pengunjung yang datang ke sini meningkat dan mereka datang bersama rombongan," kata Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Dainah (55), Minggu.
Dainah mengatakan, selama ini obyek wisata Baduy dipadati pengunjung jika liburan panjang saja karena hari-hari biasa tampak sepi pendatang.
Kebanyakan pendatang dari luar daerah seperti Jakarta, Bandung, Jogyakarta dan daerah lainya di Provinsi Banten.
Mereka pengunjung datang bersama rombongan perguruan tinggi, sekolah, peneliti, lembaga instansi swasta dan pemerintah.
Sedangkan, pengunjung berasal dari kalangan keluarga relatif kecil.
Wisata budaya Baduy sangat berbeda dengan wisata pantai, sehingga pengunjung hanya waktu-waktu tertentu saja ramai dipadati pendatang.
Karena itu, kata dia, hingga saat ini wisata Baduy tidak mengalami kemajuan pesat seperti kawasan Carita Pandeglang, terlebih jalan menuju Baduy sebagian kondisinya masih rusak.
Menurut dia, selama liburan panjang beberapa hari terakhir para pedagang souvenir, kerajinan khas Baduy dan minuman asli madu laku keras karena banyak pengunjung tersebut.
Membludaknya pengunjung tersebut, lanjut dia, tentu perekonomian masyarakat Baduy meningkat karena banyak warga Baduy berjualan aneka ragam khas produk kerajinan mereka.
"Saya sendiri juga berjualan kerajinan di antaranya pakaian tenun, samping, kaos, golok, tas kulit dan minuman madu," ujar Dainah yang juga sebagai kepala pemerintahan suku Baduy.
Trihartini (25) seorang pengunjung mengaku dirinya sangat tertarik melihat kehidupan masyarakat Baduy yang penuh sederhana itu.
Bahkan, di kawasan Baduy tidak terdapat jalan aspal juga kendaraan motor maupun mobil.
Mereka sangat kuat untuk melestarikan lingkungan alam karena sepanjang melintasi kawasan Baduy banyak pepohonan besar dibiarkan saja.
Dia mengatakan, dirinya datang ke sini bersama rombongan kampus untuk mengisi liburan panjang dan ingin mengetahui budaya, ekonomi dan sosial masyarakat Baduy.
Selama ini, kata dia, dirinya mengetahui kehidupan Baduy dari sejarah dan informasi media saja.
Akan tetapi, setelah mendatangi langsung tenyata budaya Baduy memberikan kesan tersendiri juga menambah pengetahuan tentang peradaban budaya manusia.
Masyarakat Baduy hingga kini masih kuat memegang mitologi adat dan agama sehingga mereka hidup gotong royong, rukun, damai, sederhana serta memiliki kepedulian sosial cukup tinggi.
Selain itu, juga warga Baduy menolak kehidupan modernisasi seperti menggunakan televisi, radio, kulkas dan menolak pendidikan.
Meskipun mereka menolak modernisasi, tetapi masyarakat Baduy lebih pandai di antaranya pengembangan pertanian juga menjaga pelestarian lingkungan alam.
"Karena itu, kita patut belajar kepada Warga Baduy baik dalam melestarikan alam dan ketahanan pangan karena setiap rumah memiliki lumbung padi," katanya.
Begitu pula, Royani (14) seorang mahasiswa Untirta Serang mengaku dirinya kali pertama mendatangi obyek wisata budaya Baduy.
Selama ini dirinya mengenal Baduy hanya dari buku saja dan belum mengenal secara langsung bagaimana kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu, dirinya juga menempuh perjalanan lima jam dari Kampung Kadu Ketug sampai Cibeo sebagai tempat tinggal warga komunitas Baduy Dalam yang menggunakan pakaian putih-putih.
Selama perjalanan, lanjut dia, dirinya dan teman-teman kampus melintasi jalan setapak dengan berbukit terjal dan penuh tebing.
"Saya kira wisata budaya Baduy selain wisata alam juga wisata olahraga," katanya.
"Saat ini pengunjung yang datang ke sini meningkat dan mereka datang bersama rombongan," kata Kepala Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Dainah (55), Minggu.
Dainah mengatakan, selama ini obyek wisata Baduy dipadati pengunjung jika liburan panjang saja karena hari-hari biasa tampak sepi pendatang.
Kebanyakan pendatang dari luar daerah seperti Jakarta, Bandung, Jogyakarta dan daerah lainya di Provinsi Banten.
Mereka pengunjung datang bersama rombongan perguruan tinggi, sekolah, peneliti, lembaga instansi swasta dan pemerintah.
Sedangkan, pengunjung berasal dari kalangan keluarga relatif kecil.
Wisata budaya Baduy sangat berbeda dengan wisata pantai, sehingga pengunjung hanya waktu-waktu tertentu saja ramai dipadati pendatang.
Karena itu, kata dia, hingga saat ini wisata Baduy tidak mengalami kemajuan pesat seperti kawasan Carita Pandeglang, terlebih jalan menuju Baduy sebagian kondisinya masih rusak.
Menurut dia, selama liburan panjang beberapa hari terakhir para pedagang souvenir, kerajinan khas Baduy dan minuman asli madu laku keras karena banyak pengunjung tersebut.
Membludaknya pengunjung tersebut, lanjut dia, tentu perekonomian masyarakat Baduy meningkat karena banyak warga Baduy berjualan aneka ragam khas produk kerajinan mereka.
"Saya sendiri juga berjualan kerajinan di antaranya pakaian tenun, samping, kaos, golok, tas kulit dan minuman madu," ujar Dainah yang juga sebagai kepala pemerintahan suku Baduy.
Trihartini (25) seorang pengunjung mengaku dirinya sangat tertarik melihat kehidupan masyarakat Baduy yang penuh sederhana itu.
Bahkan, di kawasan Baduy tidak terdapat jalan aspal juga kendaraan motor maupun mobil.
Mereka sangat kuat untuk melestarikan lingkungan alam karena sepanjang melintasi kawasan Baduy banyak pepohonan besar dibiarkan saja.
Dia mengatakan, dirinya datang ke sini bersama rombongan kampus untuk mengisi liburan panjang dan ingin mengetahui budaya, ekonomi dan sosial masyarakat Baduy.
Selama ini, kata dia, dirinya mengetahui kehidupan Baduy dari sejarah dan informasi media saja.
Akan tetapi, setelah mendatangi langsung tenyata budaya Baduy memberikan kesan tersendiri juga menambah pengetahuan tentang peradaban budaya manusia.
Masyarakat Baduy hingga kini masih kuat memegang mitologi adat dan agama sehingga mereka hidup gotong royong, rukun, damai, sederhana serta memiliki kepedulian sosial cukup tinggi.
Selain itu, juga warga Baduy menolak kehidupan modernisasi seperti menggunakan televisi, radio, kulkas dan menolak pendidikan.
Meskipun mereka menolak modernisasi, tetapi masyarakat Baduy lebih pandai di antaranya pengembangan pertanian juga menjaga pelestarian lingkungan alam.
"Karena itu, kita patut belajar kepada Warga Baduy baik dalam melestarikan alam dan ketahanan pangan karena setiap rumah memiliki lumbung padi," katanya.
Begitu pula, Royani (14) seorang mahasiswa Untirta Serang mengaku dirinya kali pertama mendatangi obyek wisata budaya Baduy.
Selama ini dirinya mengenal Baduy hanya dari buku saja dan belum mengenal secara langsung bagaimana kehidupan mereka sehari-hari.
Selain itu, dirinya juga menempuh perjalanan lima jam dari Kampung Kadu Ketug sampai Cibeo sebagai tempat tinggal warga komunitas Baduy Dalam yang menggunakan pakaian putih-putih.
Selama perjalanan, lanjut dia, dirinya dan teman-teman kampus melintasi jalan setapak dengan berbukit terjal dan penuh tebing.
"Saya kira wisata budaya Baduy selain wisata alam juga wisata olahraga," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar